About Me :)

Foto saya
Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia
enthusiastic planner idealist observer adabtable easy going perfectionist melancholic

Jumat, 08 Desember 2017

Coba Jadi Aku, Aku Jadi Dia

Curhatan berikut ini terinspirasi dari seorang teman yang pernah membuatku senyum-senyum sendiri tapi juga meringis karena jijik. Hahahaha.

You guys pasti setuju denganku soal yang satu ini: college life changes you a lot, significantly.
Yep. Karena fase mana saja dalam hidup kita tentu saja mengubah kita kan. Entah dari sisi apa saja. Untuk kuliah, dampaknya berbeda. Aku paham kalau tidak semua hal bisa digeneralisasikan, tapi help me guys by admit that perubahan yang kita alami di bangku perkuliahan itu "kind of unexplainable"?
Aku sendiri, ngerasa college life-ku naik turun. Which is ngga begitu baik dalam pandangan secara umum karena katanya manusia harus punya grafik menanjak dalam menjalani hidup kan?

Semester pertama. Membenci Padang dengan sangat, menganggap diri terdampar di tampat yang tidak seharusnya. culture shock, merasa senior itu semena-mena (hahahaha), memupuk niat untuk jadi manusia paling apatis dengan menyelesaikan kuliah secepat mungkin tanpa bersosialisasi (ya, aku juga bingung apa aku ini extrovert jadi-jadian), berniat tidak ikut kegiatan orientasi apapun, tidak peduli mau punya teman atau tidak karena menganggap teman di kos-kosan sudah lebih dari cukup. YA TUHAN kalau aku terusin aku sendiri yang bakal eneg, jadi sekian aja bocorannya.
Intinya, college life-ku diawali dengan "hidup segan mati tak mau". Aku pengen ketawa abis nulis ini. Aku masuk kuliah itu Agustus, YOU KNOW WHAT Septembernya aku sudah daftar organisasi, dong. Yang lingkupnya seuniversitas, pula. So much for tidak bersosialisasi (emoticon yang asap keluar dari idung). Singkat cerita aku diterima kan, terus ternyata organisasinya seru abis, FYI namanya AIESEC, kalau ngga tahu browsing aja (wuahah teteuuuup). Terus aku jadinya ikutan acara camping jurusanku ya semacam ospek juga namanya COFFEE (Communication Fun Family Everlasting Event) gela yaa namanya beraaat..beraaat. Aku join himpunan jurusanku di tahun kedua, tidak perlu dijelaskan lah yaa karena rata-rata kampus di Indonesia punya himpunan. 
Singkat cerita lagi, aku end up cukup aktif di kampus, sampai Ayahku pernah marah karena katanya anak gadisnya ngga pulang-pulang. Ya benar, itu memang Ayahku saja yang lebay, maklum aku anak pertama. Perempuan, pula! (eww seksis bitch, shut up) hahaha.
Jadi, yaa gitu. Aku jadinya cukup aktif, di jurusan, di tingkat fakultas, di tingkat univ, oiya aku jadi paling senang bergaul sama senior, lalu aku jadi akrab sama dosen-dosen karena aku selalu nanya pas diskusi, yaa gitu deh pokoknya. 
Terus aku pensiun dari semua organisasi bisa dibilang cukup dini karena masa jabatanku udah abis. Awal apa pertengahan 2016 (semester 6) aku free dari semua organisasi. 
Sekarang aku semester 9 dan merasa tua dan sudah harus hengkang dari kampus.

Naaaahhh.. balik ke cerita seorang teman tadi. Maaf mukhadimah-nya panjang bener. Tapi biar alurnya asik sekalian aku pamer.

Dia benar-benar ngga ikut organisasi apa pun sejauh yang aku tahu dan perhatiin. Dia kuliah aja ogah-ogahan. Bikin tugas selalu, tapi minta bikinin atau nyontek bikinan orang lain.
Sekarang, di semester 9 ini, dia benar-benar melejit. Dimulai dari semester 7 sepertinya. Semua junior ngga ada yang ngga kenal dia. Senior pada mulai muji-muji dia, semua medsosnya dibikin rapih, Orang-orang mulai suka dan senang setiap ada dia, bahkan apapun kegiatan yang diadain di kampus, dia adalah orang yang pertama tahu dan bakal ngasih tahu ke yang lain, yang aku pribadi bahkan terkadang sudah ngga mau tahu.
Dia mulai ngomongin hal-hal yang seru setiap ada percakapan, kaya dari yang biasanya ngomongin artis Indonesia terus sekarang ngomongnya world peace, agenda setting, gimana media yang bisa memalsukan segala hal yang kemudian dipercaya oleh publik sebagai kebenaran, yang aku pribadi lagi-lagi, kadang sudah bosan dan malas jadi kembali ngga mau tahu.

Aku terus mulai judging dong, sendirian, di dalam hati, tapi ya tetap saja. Dasar kacangberuntung!
Ini orang kenapa yaa, ngapain sih, telat banget, hahaha norak itu udah dari kapan, apaan sih ini dia, ih gini doang dia bangga, dan berbagai macam kalimat kacangberuntung lainnya.

Aku ngga begitu ingat trigger-nya apa, tapi yang jelas, aku jadi lebih positif dan melihat dia sebagai teman yang berhasil membuat grafiknya mendaki. Lalu memangnya kenapa kalau dia baru memutuskan untuk melakukan semua yang kulakukan di tahun-tahun awal di tahun-tahun akhirnya? Justru mungkin itu yang bakal bikin dia ninggalin kesan yang baik sebelum ninggalin college. Itu kebanggaan untuknya terus kenapa aku yang harus sewot?
Setiap orang punya path yang pasti beda, tapi kadang sebagai manusia emang susaaaaaaah sekali mengingat yang simple-simple seperti mind your own business. Padahal teman berkembang, tapi fokusku di beberapa waktu lalu malah soal keterlambatannya melakukan semua itu. Yang padahal bukan lahanku sama sekali.
Aku bersyukur semua negativity yang kupikirkan dan kulontarkan soal dia cuma kubagi dengan diriku terus aku sadar dan damai lagi dengan diriku. Tapi karena sekarang aku sadar jadi aku bagi-bagi :3
Sesederhana seorang teman terkadang kamu dapetin life lesson  yang priceless dan ngga diajarkan di sekolah manapun. Bahwa segala sesuatunya sudah punya jalannya masing-masing.

Untuk temanku, semoga kamu tetap energic dan menebar kebaikan, yaa!
Untuk diriku, ayo terus belajar<3
Untuk yang membaca, semoga pesanku sampai ke hati dan pikiranmu!

Senin, 04 Desember 2017

hold on, EVERYONE IS ANXIOUS.

Kenyataannya, hidup memang akan selalu dihadapkan pada masalah. Sesuai janji Tuhan-ku, tidak ada masalah yang tidak selesai. Dan tidak ada masalah yang melebihi kemampuan kita. He designed it already.
Sebagai manusia, yang adalah makhluk sosial, kita disediakan pilihan untuk berbagi. Berbagi hal apapun. Termasuk masalah. Beban, paranoid, ketakutan, apapun itu bentuknya. Disebut pilihan karena kita bisa melakukannya atau mengabaikannya saja.

Aku pengen cerita. 

Aku ngga punya pengetahuan yang begitu dalam tentang kesehatan, apalagi kesehatan mental. Tapi setidaknya i'm always open to new things, basically everything. I love to learn.
Aku ngga begitu yakin apa memang state of mental punya hubungan dengan fase hidup dan usia. Tapi aku merasakan sesuatu yang berbeda di usia 21 tahun ini. Kalau menurutku, aku jadi lebih lemah. Fragile, bisa dibilang.
Aku sedang dalam fase menyelesaikan studi S1. Skripsiku sudah selesai, sudah sejak akhir Agustus. Aku sudah mendapatkan tanda tangan persetujuan dari dosen pembimbing 1-ku pada awal September. Seperti yang kita tahu, kalau sudah ada tanda tangan itu, kamu bisa sidang skripsi, lalu mendapatkan gelar, lalu wisuda, dan lulus dari pendidikanmu di kuliah.
Di jurusanku, masing-masing mendapatkan 2 orang dosen pembimbing. Nah, aku belum mendapatkan tanda tangan persetujuan untuk sidang itu dari dosen pembimbing 2-ku hingga saat ini.
Aku mungkin tahu apa yang ada di pikiranmu saat membaca ini. Mungkin juga tidak.

Singkat cerita, saat itu aku merasa benar-benar lelah. Bukan physically, tentunya. Aku di kamar kos temanku dan sudah siap-siap mau me time. (Ngomong-ngomong soal me time, percayalah guys, kalian membutuhkannya, sangat.) Aku ingin berangkat jam 12 tapi at the time masih jam 11.15. Aku ingat sekali karena aku terbiasa ngecek jam lebih sering kalau mau bepergian.
Saat sedang bersantai menunggu waktu, pandanganku jatuh ke map yang isinya draft skripsiku. Aku membukanya, membacanya sekilas. Ada perasaan aneh yang terasa.
Dadaku sesak. Sesak sekali. Pertama kalinya aku merasakan seperti itu. Air mataku mengalir. Perlahan lalu makin deras, aku terisak. Dadaku makin sakit. Aku menangis lebih keras.
Terus aku ngaca. Ngga ada pikiran apapun yang ada di benakku pada saat di hadapan cermin itu selain menyalahkan dan merutuki diriku sendiri. Berbagai pikiran buruk masuk dengan mudah dan aku melampiaskan semuanya ke diriku sendiri.
Aku ingin berhenti nangis karena rasanya ngga enak, tapi aku ngga belum bisa. (Aturan nomor satu untuk deal with your mellow-pessimist-dramatic ass, jangan pernah bilang tidak. Kita bisa lakuin apapun). Terus aku duduk supaya bisa lebih tenang. Aku nangis. Aku biarin air mataku ngalir sebanyak yang bisa melegakan.
Jam 11.50, aku berhenti nangis. Sesak napasnya berhenti. Berhenti begitu saja. Rasanya masih berat tapi sedikit lebih plong dari sebelum nangis. Aku cuci muka, siap-siap lagi, kemudian lanjut berangkat me time.

Pada saat itu, aku punya beberapa pilihan. Aku bisa membatalkan apapun itu rencana yang sudah kususun dan tidur saja menenangkan diri. Atau aku bisa membatalkan dan pergi ke kos temanku yang ada dia di sana dan bisa ngobrol dengannya. Atau aku bisa langsung saja pulang ke kotaku, ke rumahku. Dan beberapa pilihan lainnya.
Aku memilih melepaskan semuanya, beban atau pressure atau apapun itu yang kurasakan saat menyentuh skripsi, aku memilih meluapkannya pada tangisan lalu kemudian berdamai dan move on.
Aku ngga bilang apa yang aku lakukan itu yang terbaik. Kalian selalu punya pilihan. Selalu. Please, nangis kejer sendirian selama hampir satu jam itu aneh banget. Tapi at least aku tahu cara berkomunikasi dengan diriku.
Aku tahu apa yang kubutuhkan dan aku bisa memilih. Karena setelah itu aku senang banget. Aku ke mall, lalu cuci mata lihat-lihat baju-baju dan sweater yang lucu-lucu, nonton sendirian di bioskop dan discovered film Indonesia kesukaanku untuk tahun ini, aku pulang ke kos temanku dengan santai, mengendarai motor dengan senyuman.

SRSLY guys, everybody has their own anxiety. Everyone got their own problem. Ngga ada yang lebih berat, lebih menyedihkan, lebih menderita. Yang namanya masalah ya masalah. Muncul as ujian buat kita sebagai manusia. Aku cuma mau bilang bahwa kita pasti tahu paling baik tentang diri kita sendiri, apa yang kita mau dan apa yang kita butuh.
It's super okay to grieve, it's okay to be sad, but everything has it's time. Kita semua cuma perlu latihan lebih banyak untuk tahu batas :)